Kamu Bukan Dia



Secangkir kopi susu hangat mengepul-ngepul di atas meja rotan tua di depan rumahnya, seorang lelaki terlihat sedang duduk menyandarkan kepalanya serendah mungkin ke punggung kursi tua di beranda rumahnya.
Pagi ini entah kenapa kopi kesukaanya itu serasa hambar, takaran yang biasa dibuatnya padahal sudah pas seperti biasa, tiga sendok kopi hitam, satu sachet susu kental dan sedikit tambahan garam untuk menambahkan rasa gurih di kopi tersebut, racikan itu biasanya cukup untuk menaikan suasana hatinya.
Matanya merah, semalaman dia tak merasakan hangatnya kasur, pikiranya terlalu sibuk untuk diajak tidur, dan lagi, dia sendiri lebih memilih untuk menghabiskan malam dengan bersama gitar tua yang sekarang tergeletak kaku tak berdaya di sampingnya.
Pertemuan dengan sang calon kekasih di sore hari sebelumnya begitu berdampak sangat besar baginya, dan lagi ketika mereka saling melepas kata sampai jumpa dalam diam, ini mungkin yang membuatnya terjaga semalan.
Di ambil cangkir kopi di atas meja rotan disebelahnya, seraya menenggak habis isi di dalam cangkir tersebut batinya membuat keputusan “Hari ini semuanya harus selesai”.

***

            Harum kayu manis begitu terasa di ruangan ini, menimbulkan suasana hangat menyenangkan bagi siapapun yang menciumnya, dia dipersilahkan duduk oleh sang pemilik rumah, disuruhnya ia menunggu ketika sang calon kekasih sedang tak ada di rumah, dia memang orang yang tak suka menunggu, dia benci itu, mengingatkanya pada mantan kekasihnya.
Pandanganya menyapu ruang tamu sang calon kekasih dengan sedikit acuh, mengerling sambil membunuh rasa kesal itu, ia seperti mencari sesuatu yang tak diketahuinya, yang mungkin barang kali bisa sedikit membantu mereduksi perasaan tersebut.
ketika hingga akhirnya pandangan matanya tertuju ke arah sebuah lukisan, dimana dilukisan tersebut, si calon kekasih sedang tersenyum lebar bersama keluarga kecil bahagianya, belum lama dia mengamati lukisan keluarga itu, sang yang sedang sedari tadi ditunggu tiba.
Dicobanya tersenyum kepada sang calon kekasih, namun saat hatinya terlalu keruh untuk melakukan itu, sehingga hanya sebuah seringai kecil yang tergurat di bibirnya.

“hai, sudah lama nunggu?”

Si calon kekasih mencoba berbicara terlebih dahulu, dia berusaha untuk menyelipkan sebuah senyum di setiap kata sapaanya, tapi hatinya tak berbeda jauh dengan si lelaki yang sedang duduk dihadapanya.
Si lelaki mulai bisa menguasai hatinya yang sedari tadi kacau memikirkan berbagai hal tentang apa yang akan dilakukanya hari ini, dia tersenyum dan dijawabnya pertanyaan si calon kekasih dengan ramah, menit-menit selanjutnya mereka habiskan dengan saling berbicara berbagai hal remeh tentang semesta dan tentang kenangan merea di masa lalu.
Senyum memang terukir jelas di wajah si lelaki itu, tapi tidak dengan pikiranya, pikiranya sedang mencari sedikit celah untuk berbicara maksud dari tujuanya datang kesini, menit demi menit berlalu hingga akhirnya dia tak tahan dan memilih untuk memulai rencananya, dia membukanya dengan permohonan maaf atas kejadian mereka yang terakhir.
“aku mau minta maaf soal yang kmarin, aku bener-bener menyesal”
si calon kekasih tidak langsung menjawab, dia hanya tersenyum.
“iya engga apa-apa ko, aku ngerti ko, mungkin kamu emang lagi banyak pikiran”
Tampang penuh penyesalan muncul di wajah si lelaki muda kurus ini, seraya dia menjawab pertanyaan si calon kekasih, dan setelah dia menunggu begitu lama, akhirnya dia memutuskan untuk berbicara langsung kepada sang calon kekasih, langsung tepat pada intinya, tak ada gunanya dia menunggu lagi selain semakin rasa bersalah ini, begitu pikirnya.
Gurat wajah penuh senyum yang sebelumnya di tunjukan si calon kekasih perlahan-lahan mulai berubah, wajahnya kini menunjukan sebuah kesedihan, sebuah kesedihan yang asalnya dari sebuah hati yang mungkin terjatuh tak pada tempatnya.
Dan ketika pada akhirnya, ketika hatinya sudah tak tahan lagi, tak tahan dengan semua kepedihan ini, ketika hatinya belum juga sepenuhnya sembuh dengan kejadian sebelumnya, perlahan air mata mulai menetes.
Ia mencoba menundukan kepala, mencari pengalihan dengan tanganya, matanya coba ia pejamkan untuk sekedar menahan derasnya air mata yang sekarang sudah hampir tak terbendung, dan akhirnya isak tangis pun tak terhindarkan.
Pikiranya kalut, berbagai pikiran tentang kenangan bersamanya pun merangkak naik ke permukaan.
Kenangan ketika perkenalan awal mereka, kenangan ketika awal mulai munculnya perasaan janggal ini padanya, kenangan ketika setiap pagi pesan singkat selamat pagi darinya selalu menjadi motivator untuk si calon kekasih menjalani harinya, dan kenangan ketika ucapanya selamat malam darinya selalu mengantarnya terlelap dengan segurat senyum di wajahnya.
Mengingat kenangan itu, hatinya semakin berat, semakin berat untuk mencoba mengikhlaskan dia, dan dengan usaha gabungan antara rasa pedih, rasa kesal dan rasa pensaran, si calon kekasih mencoba membuka mulutnya untuk bicara.
Namun yang keluar hanya isak tangis, tak ada kata yang keluar, bibirnya serasa begitu kelu, rasanya tak sanggup mengatakan sepatah katapun kecuali isak tangis.Lelaki didepanya mencoba berbicara, meminta maaf untuk semua hal indah yang sudah dia pinjamkanya, meminta maaf untuk tak bisa mencintainya seperti si calon kekasih mencintainya.
Ketika si lelaki mulai berdiri dan mengungkapkan permintaan maaf yang terakhir, si calon kekasih akhirnya mengerahkan semua usaha untuk menahan isak tangisnya, dia menginginkan kejalasan, kejelasan apa yang salah dengan dirinya.
Si lelaki mencoba tersenyum, ia mencoba membuat suaranya seramah mungkin, namun itu nampaknya mustahil untuk saat itu, yang keluar hanya sebuah jawaban, jawaban yang sangat getir, yang semakin mencabik hati si calon kekasih.

“Masalahnya cuma satu, kamu bukan dia”

            Selesai berkata seperti itu dia memutuskan untuk pergi, kelaur dari ruangan ber-aroma kayu manis ini, dan tepat sebelum pergi dia ucapkan sebuah kata maaf, kata maaf yang paling tulus dari semua kata maafnya selama ini.

Komentar