Petrikor
Bunyi
sebuah televisi terdengar kabur di ruangan itu, berbisik sayup mengiringi tari
ragu dari seorang pemuda tanggung yang memandang kosong kearah tembok, entah
apa yang dia pikirkan, entah kenapa dia masih berpikir ketika sudah di tempat
ini. Sebuah tempat berbentuk ruangan, atau lebih tepatnya sebuah kamar, kamar
selebar empat kali lima meter itu terlihat minimalis, namun tetap
memperlihatkan kesan glamour dan nyaman bagi siapa pun yang melihatnya, sebuah jenis
glamour masa kini, dimana hal simple dan minimalis yang menjadi primadona.
Pemuda
itu berpenampilan sederhana, sebuah jeans
belel dengan kaos hitam lusuh, dan snapback
yang selalu ada di kepalanya, tak selalu ada, namun sebagian besar waktu ada.
Dia masih duduk dengan gerik menunjukan ke tidak nyamanan, dalam pikiranya
berkecamuk banyak hal, tentu hal utama adalah alasan dia berada di kamar empat
kali lima meter ini.
Siang
itu semuanya terasa menyenangkan, poros semesta seperti berada di sampingnya,
tertawa bersamanya, saling tatap denganya, benar, semesta seperti ada di
sampingnya, dalam bentuk seorang wanita, berwajah oval, bersenyum manis,
berambut panjang, wanita yang baru pertama ia temui. Si pemuda mengira wanita
disebelahnya adalah perwujudan semesta, dan dia memang bertingkah seperti itu.
Siang itu
mereka habiskan dengan berjalan di seputar kota, memandangi indahnya deretan
etalase barang-barang mahal yang si pemuda yakin tidak akan sanggup dia beli.
Tapi itu tidak masalah, dengan si wanita berjalan disampingnya, tak ada kata
sedih dalam kamusnya siang itu. Semua terlihat penuh warna, benar apa yang
orang tua biang dulu “Urusan hati bukan
hanya cerita dua hati, melainkan dua hati dengan semesta di sekelilingnya”
Butuh
waktu bertahun-tahun untuk si pemuda memahami arti kata itu, dan ketika
berjalan dengan si wanita siang itu, dia baru memahaminya lagi, ketika dua hati
berjalan beriringan melakukan simponi kebersamaan, semesta kita akan terlihat
begitu menyenangkan.
Siang itu si pemuda
mengamininya, semua terlihat menyenangkan baginya, langit kota kembang yang
redup, cuaca favortinya. Deretan pelukis menjajahkan lukisanya di sepanjang
jalan klasik ini juga merupakan setting tempat favoritnya, suasana yang tidak
terlalu ramai pun menjadi penyedap tambahan di siang itu, tapi dengan si wanita
berjalan di sisinya, semuanya terasa berbeda, Semua terasa sangat sempurna,
langit favorit, latar favorit, dan wanita favorit.
Saat itu, si pemuda merasa
hidupnya begitu sempurna, jika bisa, ingin dia simpan momen bersama si wanita
dalam sebuah botol kaca, sebagai sebuah souvenir untuk dirinya di masa senja
nanti, masa ketika dia bisa pulang dengan tenang kembali kepada Sang Penguasa
Semesta.
Kesadaranya kembali, si pemuda
menggelengkan kepalanya, menampar kedua pipinya, sebuah hal yang sering dia
lakukan untuk mengembalikan konsentrasinya, dia berdiri dan berjalan menuju
cermin di pojok kamar empat kali lima ini, sebuah kamar yang si pemuda curigai
sudah banyak menjadi saksi akan keringat-keringat menyenangkan dua orang anak
adam dan hawa, suatu hal yang si pemuda diam diam bayangkan akan terjadi dengan
si wanita juga.
“kenapa terasa berat”
Si pemuda kembali memenjamkan
matanya, dan seperti mesin waktu, ketika pandanganya gelap, kejadian siang itu
kembali lagi, dengan tempat yang bereda, suasana yang berbeda, tapi wanita yang
sama.
Kali ini dia membayangkan
kejadian setelah di jalan klasik itu, ketika dia benar yakin semesta sedang
menjelma di sampingnya. Mereka berjalan di depan sebuah gedung bersejarah, ya
gedung yang menjadi tonggak sejarah beberapa benua di dunia, dan kali ini
menjadi saksi sejarah si pemuda dan si wanita yang berjalan menikmati indahnya
kota kembang ini.
“ternyata seru ya jalan-jalan
yang bener-bener jalan hehehe”
Si
wanita berkomentar, ya sebuah komentar yang sangat diharpakan pemuda mana pun
di semesta ini, ditambah senyum sebagai penutup komentarnya, sebuah senyum yang
mebuat candu siapapun, sebuah senyum terindah yang si pemuda kenal, senyum dari
si wanita membuat si pemuda menyadari, bahwa ini bukanla candu, jika ada kata
yang lebih untuk mengungkapkan rasa candu mungkin akan dia gunakan.
Si
pemuda mengajak si wanita duduk di tangga pintu masuk gedung, suasana begitu
menyenangkan saat itu, salah satu tempat dan suasana favorit si pemuda,
rentetan kendaraan yang melaju cepat di jalanan menimbulkan efek blur, beberapa pedagang kaki lima yang
berkeliling mencari penyambung hidup, suasana redup menjelang hujan yang
menjadi favoritnya, dan tentu saja, si wanita yang berada di sampingnya,
membuat suasan jadi semakin candu.
“Makasih
ya udah ajak aku jalan yang bener-bener jalan hehe”
Kembali, kebiasaaan si wanita yang sudah si pemuda pahami
dalam sehari ini, senyum setelah berbicara, kebiasaan yang sudah si pemuda
kenali sejak awal mereka bertemu.
“Asal kamu seneng, aku seneng
ko eaaa hahaha”
“Ih ngegombalin aku ceritanya ini?
Haha ga mempan”
Percakapan si pemuda dan si
wanita memang selalu seperti ini, jauh dari kesan serius layaknya
pasangan-pasangan lain. Tapi si pemuda ingat, mereka bukan pasangan, jadi semua
memang berjalan normal, layaknya dua sahabat yang menghabiskan waktu bersama,
tak ada yang salah, yang salah hanya salah seorang dari kedua sahabat ini
menyimpan satu yang lebih.
Ditengah candaan mereka
ditengah hiruk kota kembang ini, jatuh tetesan air dari langit satu tetes, dua
tetes, tiga tetes dan banyak, ya hujan mendadak turun, si wanita terlihat tidak
nyaman dengan hujan tiba tiba ini, namun berbeda dengan si pemuda, hujan adalah
sekutunya, atau setidaknya dia berpikir seperti itu. Dia hisap dalam-dalam
udara penyambut hujan ini, dalam hingga si pemuda yakin, ini aroma kesukaanya,
aroma tanah berpadu air hujan dan rintik merdu ketika mereka berdua bertemu.
“Ri, cium deh aroma skrg?
“hah? Aroma apaan?”
“coba deh cium aja, ambil napas
dalem-dalem, pasti ga asing sama aroma ini?”
“kamu kentut....lagi? hahaha”
“sial hahaha, bukan, udah coba
aja”
Si
wanita pun melakukan apa yang si pemuda pinta, dia hirup dalam-dalam aroma
sekeliling, matanya terpejam, senyum tergurat, rambut yang tergerai angin. Saat
itu, waktu terasa berhenti, atau begitu yang si pemuda pikir, saat itu dia
melihat bukan seorang wanita yang berada di sampingnya, dia melihat
sebuah maha karya, maha karya Tuhan terbaik yang dia lihat dalam waktu
belakangan ini, paska lily tentu.
“heh kenapa, ko ngeliatin
akunya begitu banget”
“eh engga, kamu cantik banget
pas tadi lagi gitu hehe”
Ucapan si wanita bagai pemecah
jam pasir penghenti waktu, lamunan si pemuda buyar, dan si wanita hanya
merespon jawaban si pemuda dengan tawanya, tawa renyah yang begitu membuat si
pemuda begitu lemah, tawa sebuah keindahan.
“err gimana, udah sadar ini
aroma apa? Bukan kentut aku kan hahaha”
“dih gajelas, baru gombal udah
ngelucu lagi, maunya apa si hahaha”
“ih malah ngaco kan, gimana,
udah sadar?”
“iya udah, ini tuh aroma kalau
baru hujan sama pas hujan beres, Cuma aku gatau apa sebutanya, mau bilang bau tanah da bukan, bau
aer apalagi”
“dih ngaco hahaha, ini
petrikor, aroma paling asik di semesta aku hahaha”
Jawaban si wanita terdengar
kabur, tersarukan suara hujan yang semakin gagah, instrumen semeste yang paling
indah, bunyi hujan beradu bumi.
***
Ditengah lamunanya, si pemuda
kembali menengadahkan kepalanya, menelisik seisi ruangan ini, ruangan berharum
lembut, harum penuh kenyamanan, mirip harum si wanita. Tak heran memang, ini
memang tempatnya. Si pemuda kembali mengingat skenario terakhir bagaimana dia
bisa sampai disini.
Hujan yang tak menunjukan gelagat untuk
berhenti, ditambah waktu yang semakin berlari, menjadi kombinasi yang akhirnya
membuat mereka memaksakan untuk menerobos gagahnya salah satu instrumen semesti hari itu.
Tempat si wanita berada tak
terlalu jauh dari tempat gedung bersejarah itu. Sebuah daerah penuh orang
rantau, daerah kos-kosan yang sebelum mengenal si wanita di pemuda sering
jelajahi karena salah satu temanya ada disini, sebuah daerah tempat anak rantau
dekat monumen yang di dedikasikan akan perjuangan para pejuang.
Petang itu suasana senja tidak
terlalu mendominasi, kalah oleh rintik hujan yang semakin gagah, membawa
sedikit kekecewaan untuk si pemuda, mau bagaimanapun, untuk si pmuda, langit
berwarna oranye begitu indah baginya, sayang petang itu senja tidak berada di
pihaknya, berganti hujan yang begitu egois menunjukan dirinya.
Bunyi derat pintu kamar mandi
yang dibuka membuat si pemuda kembali sadar dimana pikiranya harus berada,
sebuah ruangan empat kali lima, ruangan bercat biru muda, dan berharum lembut,
tempat si wanita menghabiskan sebagian malamnya untuk menyelami mimpi.
“kamu ga ganti baju? Ga dingin
apa?”
Si wanita membuka percakapan
sembari mengeringkan rambutnya, si pemuda bukanya menjawab, dia hanya tertegun,
yang dia lihat sungguh membuat suasana petang itu terasa sangat intim, harum
shampo si wanita begitu menghipnotis si pemuda, sebuah kimono merah muda yang mulai pudar lengkap menutupi tubuh si wanita, membuat si pemuda kembali
mengawang-awang apa yang akan terjadi. Si wanita mencoba menegur si pemuda
untuk mendapat jawaban pertanyaan dari pertanyaanya.
“ah iya dingin si, tapi ga bawa
baju lagi hehe”
Si wanita berjalan kedepan si
pemuda, dia sudah mengambil sebuah pakaian warna warni dan si pemuda tau, dia membawakan pakaian grosir khas bali bergambar barong milik si wanita, buah
tangan dari kunjungan terakhir si wanita ke pulau dewata katanya, tapi si
pemuda tau jelas itu pakaian lama, tak apalah dia sudah terlalu menggigil untuk
peduli.
Dia berdiri tepat di depan si wanita,
dan dengan cuek si pemuda membuka pakaian basahnya, pakaian basah telah
terlolosi, si wanita berkomentar mengejek mengenai badan si pemuda, mereka
berdua tertawa sembari berhadapan.
Tak lama dari tawa mereka di
petang itu, mereka saling bertatapan, tatapan yang diirngi bunyi tawa yang
memudar, sesuatu yang tidak di rencanakan keduanya, mereka terus bertatapan
sampai mereka semakin mendekat, sangat jelas hingga si pemuda bisa melihat
dengan jelas beberapa bintik di hidung si wanita, pada saat itu, si wanita sudah
terpejam, wajah mereka semakin dekat, si pemuda pun memejamkan matanya.
Gelenyar menyenangkan seperti
listrik menjalar di wajah si pemuda, sebuah gelenyar yang masih terasa asing
namun bukan yang pertama, listrik serasa mengalir dengan liar diseluruh
tubuhnya. Seraya mengiringi apa yang si pemuda dan si waniata lakukan.
Mereka terus bergumul,
mengabaikan bunyi hujan diluar yang semakin liar, mencoba menandingi keliaran
apa yang terjadi di dalam ruangan empat kali lima itu, semesta mungkin kalah,
tapi siapa yang peduli dengan kompetisi diwaktu seperti ini, saat itu kedua insan sedang tidak
peduli dengan apa yang terjadi selain apa yang terjadi di ruangan empat kali
lima itu.
Semesta mulai akan
mengakui kekalahannya ketika hujan mulai
tidak terdengar, berganti dengan kumandang ajakan untuk beribadah dari bangunan
suci tak jauh dari tempat si wanita, ketika pergumulan mereka akan melangkah
ketempat lebih jauh tepat ketika akan melangkah lebih jauh si pemuda
menghentikanya, begitu mendadak, begitu tiba-tiba, sama seperti sebuah perasan yang
mendadak dan tiba-tiba menyeruak di diri si pemuda.
“hah kenapa? Udah emang?”
“bukan, aku gabisa, maaf aku
gabisa” seraya itu si pemuda bergerak menjauh dari si wanita, mencari sebuah
bungkus tembakau favoritnya dan menyulutnya, dia tampak begitu keruh dalam
tenangnya.
“udah tanggung tau”
“iya aku gabisa, maaf” dia hisap dalam dalam tembakau favoritnya.
“tapi kenapa? Ngeselin banget”
Si pemuda mendekat ke arah si
wanita, mengangkatnya berdiri dan menatap dalam kemata coklat si wanita, diam
dia lama, membiarkan dirinya dan si wanita di guyur sunyi dan sayup suara tv.
“Kamu terlalu berarti, inget
aroma petrikor yang tadi aku bilang..”
“iya kenapa?”
“...kamu mirip itu, indah,
candu, tapi ga lama.”
“...” si wanita diam, hanya
matanya mulai berkaca, entah karena apa, si pemuda tak begitu paham isi pikiran
wanita, bukankah kita semua begitu?
“...Kamu aroma favorti yang
semesta kasih, aku gamau kamu rusak...”
“...tapi aku udah rusak, kamu
tau kalau..”
Ditengah ucapanya, si pemuda
memotong perkataan si wanita, di tengah ke keruhanya, si pemuda tau, dia harus
melakukan ini.
“..kaya yang aku bilang tadi,
kamu terlalu berarti” dia kecup kening si wanita, kecupan yang dia maksudkan
sebagai kecup perpisahan.
“hujanya uda beres, aku langsung
balik mungkin, kamu jangan yang aneh-aneh ya”
“...” si wanita tetap diam, tak
terasa isak mulai memenuhi wajah si wanita. Si pemuda sadar, dia hampiri si
wanita, dia berikan pelukan paling nyaman yang bisa si pemuda berikan pada
malam muda itu, dia elus mahkota si wanita, dia kecup keningnya, tak ada kata,
hanya bahasa sunyi yang si pemuda berikan seraya si wanita berucap terimakasih.
Malam itu mereka berjanji,
untuk sebuah kepedihan mereka, sebuah janji untuk berhenti saling menjalin
hubungan. Berat, ya si pemuda tak menampik, ini hal yang berat, wanita
favoritnya paska lily, seorang wanita yang dia anggap poros semestanya yang
baru, harus dia lepas.
Si wanita pun mungkin merasa
berat, isaknya cukup memberi tanda untuk si pemuda bahwa ini hal yang berat
untuk keduanya, dan sebelum benar-benar berpisah, di depan ruangan empat kali
lima si wanita, dibawah temaram lampu, di tengah aroma petrikor yang menelusuk
hidung, si pemuda mengucapkan salam perpisahanya.
“terimakasih, kamu udah mau
jadi petrikor aku, jaga diri ya”
Dengan kata kata itu, si pemuda
harap dia bisa menyampaikan semua yang dia rasa. Dalam perjalananya, si pemuda
kembali mengingat semua kejadia hari ini, sebuah penyesalan yang sangat besar
mengambil alih dirinya yang sedang bersandar di atas kendaraan umum berwarna
hijau itu. Tapi dia juga yakin, ini hal yang benar, yang membuat petrikor
terasa candu adalah kombinasi harumnya yang aneh dan waktunya yang terbatas. Dan
malam itu si pemuda pulang, membelah kota kembang yang pekat dengan aroma
petrikor, aroma paling candu yang di berikan semesta.
Komentar
Posting Komentar