Kopi Senja




Segelas kopi susu mengepul hangat dengan harumnya yang khas, harum yang hampir menimbulkan suasana yang nyaman bagi siapapun yang menghirupnya. Disebelahnya, seorang pemuda tanggung sedang duduk menyandarkan kepalanya senyaman mungkin ke arah tembok, tembok yang sudah terlihat usang dan penuh coretan. Kepalanya bergeser, bergerak-gerak. Kenyamanan yang sedang dia cari sedari tadi tidak juga berhasil dia temukan, hingga setelah dia mengambil bantal dan mengganjalkan punggungnya, semua mulai terasa pas, dan sentuhan terakhir, dia keluarkan bungkus rokok yang dia beli sore kemarin, dan dia nyalakan batang terakhir yang ada di dalamnya.
Bunyi jangkrik yang biasanya setiap malam terdengar kali ini seperti absen dari pendengaranya, tertutup oleh bunyi pengajian yang rutin dilakukan oleh sang pemilik asli kostan.
Dalam waktu santainya malam ini, dia memikirkan banyak hal yang dia sendiri bingung dengan apa yang sebenernya dia pikirkan, pikiranya tidak fokus, tidak fokus dengan pengajian yang dia dengar dari lantai bawah. Dia mungkin terlalu takut untuk mengakuinya, namun terkadang, bunyi jangkrik di malam hari lebih menjadi teman yang sangat dia inginkan dalam waktu seperti ini.
Dia hisap dalam-dalam rokok favoritnya, harum kopi yang awal begitu memenuhi kamarnya sudah tercampur dengan harum dari asap rokok itu, yang kombinasi keduanya adalah favorit yang sangat dia gemari.
Belum satu jam berlalu, suara jangkrik yang dia pikir akan absen mulai terdengar. Nampaknya pengajian dari lantai bawah sudah berakhir, berganti dengan suara jangkrik, teman terbaik dalam kondisi bersantai saat ini.
Suara jangkrik yang nyaris absen ini berdampak seperti pelatuk, begitu terdengar oleh si pemuda, semua pikiran yang tertahan sedari tadi mulai berlari untuk meminta dipikirkan. Pemuda itu memejamkan matanya, menikmati asap terakhir dari rokok terakhirnya, dan pikiranya pun memilih sebuah pilihan yang dia sendiri ragu bagaimana bisa muncul di pikiranya saat ini, pikiran tentang seorang perempuan dari masa lalu, perempuan yang telah membawakanya baik bahagia dan juga derita, perempuan yang pernah dia anggap penjahat dan dia anggap sahabat, perempuan yang membuat akhir remaja mudanya begitu berkesan, bukan hanya kesan kebahagiaan, namun kesan kesengsaraan juga.
“Brengsek!!” 
Tanpa sadar, pemuda itu mengumpat, dia kesal dengan pikiranya sendiri, sebuah pikiran yang dia kubur, dia jaga agar tidak menguak, sekarang meliuk-liuk mengesalkan di saraf-saraf pikiranya, entah apa yang membuatnya seperti ini, setiap ada yang menyebut nama perempuan itu, gelombang kekesalan seperti berkumpul dan menghentakanya, menyeringai dalam bentuk si perempuan dan berteriak dengan nada kebencian. 
                
              “PECUNDANG!!!”
                Dia ambil kopi yang sudah tidak terlalu panas itu, dan dia tenggak kopi yang tadi sudah hampir habis tersebut, pikiranya mendadak kalut, jenis kalut yang dia tau sudah sangat lama tidak dia rasakan, rasa kalut yang hatinya sudah terbiasa, rasa kalut yang dulu pernah hampir memporak-porandakanya.
                “Bangsat, si kampret dateng lagi, sial!!”
                Dia mengumpat, kali ini dengan sadar, dan dia sunguh-sungguh bermaksud dengan umpatan itu, dia kesal, waktu santainya yang sangat berharga ini harus tercemar dengan pikiran dan luka lama yang dia kira sudah sembuh. Dia berdiri, dan sudah jadi kebiasaan ketika kalut seperti ini, mandi adalah jawaban paling masuk akal bagi si pemuda, maka dia, dengan harapan semua akan kembali seperti semula, pergi ke arah kamar mandi yang berada tepat dibawah tangga di depan kamar kostnya.

****
                Badanya menggigil, sepertinya mandi di tengah malam bukan keputusan yang bijak buat si pemuda, terlebih kali ini dia bukan berada di kampung halamanya, dia berada di salah satu kota paling dingin di jawa barat.
                Dengan tergesah-gesah dia ambil celana pendek dan kaos kusam yang sudah dia pakai untuk tidur selama berhari-hari, baginya celana dan kaos itu bagai piyama, dan dia merasa sangat nyaman dengan pakaian seperti itu. Karena saat ini, dia butuh semua kenyamanan yang bisa dia dapatkan untuk mengalihkan pikiran yang sejak tadi tidak henti-hentinya dia sumpahi karena memikirkan yang sangat dia benci untuk saat ini.
                Dia berbaring, memandang langit-langit kamarnya, semua memang terlihat gelap karena dia tidak mematikan lampu dikamarnya, namun meski dia tidak bisa melihat langit-langit kamarnya, dia tau, suatu tempat di ujung kegelapan ini, ada langit-langit yang biasa setiap malam dia pandangi.
Ketika sedang memandain langi-langit kamarnya dalam keadaan yang gelap, dia mulai berhasil mengambil alih pikiranya lagi, dan dia mulai memikirkan hal-hal remeh tentang semesta lagi, jenis pembahasan yang sangat dia gemari untuk dia pikirkan sebelum tidur, hal-hal remeh dipadu dengan bunyi jangkrik begitu memabukan baginya, jauh lebih efektif ketimbang lagu nina bobo atau lagu-lagu lain yang pernah dia dengar.

***
                Drrrt
                Drrrrt
                Drrrrtt
Getaran alarm membangunkanya, tak jelas apa yang dia mimpikan semalam, namun kepalanya terasa ringan, bagai dia tidak pernah berpikir sebelumnya. Dalam lamunan ditengah pengumpulan kesadaranya dia mendadak ingat sebuah rencana yang dia tidak ingat bagaimana, namun dia rasa begitu penting, rencana yang begitu kabur apa tujuanya namun dia begitu berhasrat untuk melakukanya.
“Brengsek, telat bangun”
Umpatnya lagi, ketika dia ingat bahwa dia memiliki janji dengan teman-teman masa SMA-nya untuk pergi bermain ke sebuah perbukitan. Tanpa menunggu aba-aba lagi, dia langsung terlonjak, pergi mengambil handuk di depan kamar kostnya, mandi.
Sebenarnya, mandi bukanlah kebiasaanya ketika akan bepergia, namun kali ini dia ingat, dia akan bertemu dengan teman-teman SMA-nya, tidak ada yang spesia memang, namun pertemuan ini juga melibatkan dia, si perempuan yang tadi sebelum tidur begitu mengganggu pikiranya. 

***

Hembusan angin sore begitu membuainya, membuainya sehingga jiika dia di sodorkan tempat untuk berbaring dia sudah pasti akan berbaring dan tidur, namun kali ini dia tidak bisa, ada si perempuan, kali ini entah kenapa, dia begitu ingin membuat dirinya terlihat layak, terlihat keren di depan si perempuan.
Dengan keinginan seperti itu, maka dia lebih memilih untuk tidak tergoda angin perbukitan itu, dia mencoba berjalan merendengi si perempuan. Dia sangat bingung, perasaan untuk mengobrol denganya begtitu kuat, namun rasa canggung yang dia rasakan begitu mencium parfum si perempuan jauh lebih kuat, jadi tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mencuri-curi pandang pada si perempuan.

“hai, aku penasaran...”
Si perempuan nampaknya bernisiatif untuk memulai pertanyaan, dia pun memulainya dengan nada yang kental dengan kecanggungan. Inisiatif si perempuan nampaknya tak diduga oleh si pemuda, dia seperti ragu ketika akan menjawabnya, sehingga alih-alih jawaban ramah yang menyenangkan, si pemuda seperti ketus menjawab si perempuan, namun dia sendiri tidak bermaksud seperti itu, dan dia kecewa, kecewa dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri.

“Penasaran kenapa?”
“hehehe engga si, cuman heran aja”
“Heran kenapa emang? Kamu ga jelas banget hahaha”
“kamu ko betah banget si ngejomblo hahaha”
“ yee, aku bukanya betah tapi selektif hahaha”
Baru setalah dia mengambil alih dirinya lagi, jawaban yang dia harapkan berhasil keluar dari mulut yang tadi dia sumpah serapahi. Jawaban dengan nada yang biasa dia gunakan pada si perempuan ketika semua belum berakhir.
***
Kedua temanya telah tiba lebih dahulu di puncak bukit, mereka sedang berdiri saling berhadapan, mereka berdua terlihat begitu serius satu sama lain. Hampir tidak ada sisa bahwa sebelum mereka saling berhadapan, mereka berdua sedang bercanda sangat asik sebelumnya.
Tadinya mereka sedang tertwa sangat keras, sangat keras sehingga hampir menandingi berisiknya suara si perempuan dan si pemuda yang sebelumnya juga tertawa lebih keras setelah mereka bernostalgia, mengingat bagaimana mereka bisa jadi sedekat dulu, mengingat bagaimana dulu si pemuda pernah membuat si perempuan begitu sengsara ketika di kelas, dan hingga akhirnya si pemuda yang awalnya gemar mengerjai si perempuan berubah menjadi sangat mencintai si perempuan, dan bagaimana lucunya cerita si pemuda ketika dia sedang berusaha mendekati si perempuan, semua cerita usang masa lalu itu menjadi ramuan yang tepat untuk mengatasi kecanggungan mereka.
Hingga akhirnya si perempuan menunjuk kedua temanya yang telah tiba di atas tadi. Kedua temanya tampak terlihat begitu epic di puncak bukit, mereka berdiri berhadapan dengan dibingkai langit senja yang berwarna oranye, ditambah hembusan angin senja, semua terasa begitu indah, membuat mereka berdua terlihat begitu epic.

“eh, liat deh mereka”
“kenapa sama mereka? Ayo jalan, kalau ga cepat-cepat, kita bakal sama sekali ga kebagian sunset, entar percumah”
Namun si perempuan hanya menghiraukan ajakan si pemuda, dia masih tetap berdiri ditempatnya semula bediri, tepat dibawah sebuah pohon yang cukup rindang. Si pemuda yang sudah berjalan pun kembali lagi, dia tampak heran dengan si perempuan, pergi ke bukit ini semula adalah gagasan si perempuan, tapi sekarang dia sendiri yang tampaknya enggan untuk melanjutkan perjalanan.

“hei, ayo jalan, kenapa malah bengong?”
Sama seperti tadi, si perempuan tetap menghiraukan si pemuda, namun kali ini dia menunjuk ke arah puncak bukit, mukanya tampak mengguratkan senyum. Sontak yang sejak tadi si pemuda mulai kesal dengan tingkah laku si perempuan, mau tak mau dia ikut tersenyum, dia ingat, atau hatinya mengingat, bahwa senyum itu adalah senyum yang dulu begitu dia candui, senyum yang membuat hidupnya begitu merana, senyum yang  pernah membuat si pemuda itu gila.

“itu liat, liat mereka, so sweeeet”
Si perempuan kali ini berbicara sambil tetap menunjuk kedua temanya yang telah berada di ujung bukit. Lamunan si pemuda tentang senyum si perempuan pun mendadak hilang ketika dia juga menolah melihat ke arah puncak bukit, dilihatnya kedua temanya itu sedang berpelukan, moment mereka terasa sangat indah, mirip dengan adegan dari film-film romantis ketika sepasang pria dan wanita berpelukan berlatar belakang kan langit senja.
Suasana bukit berlatar belakang senja begitu nyaman, ditambah pemandangan kedua temanya yang sedang berpelukan cukup membuat si pemuda terkesima untuk beberapa detik, dan entah dari mana, mendadak sebuah keinginan yang sangat besar muncul dalam benak si pemuda, dia mendekati si perempuan yang masih tersenyum memandang ke puncak bukit, dan ketika si pemuda sudah berada di depannya, si perempuan mengalihkan pandanganya pada si pemuda, mukanya mengguratkan kekagetan.

“ka...kamu ngapain?”
Si pemuda tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum, dan ketika kedua mata mereka bertemu, si pemuda melakukan apa yang kedua temanya lakukan di puncak bukit ini. Dia memeluk si perempuan, begitu lembut namun begitu erat. Wangi harum yang dulu begitu dia kenal sekarang kembali bertemu dengan indra penciuman si pemuda, dan pada saat itu waktu serasa berhenti.
Sambil tetap memeluk erat, si pemuda mengusap rambut si perempuan, dia sendiri heran, dari mana keberanianya ini datang. Mungkin jika mereka masih sedekat dulu, pelukan seperti ini akan terasa wajar, namun sekarang, mereka tidak lagi seperti itu, tidak lagi berbagi senyum dan kebahagian seperti dulu.
Dalam pelukan yang sangat mendadak itu, si perempuan nampak sangat bingung, dia sangat ingin melepaskan pelukan si pemuda, namun badanya tidak mau bergerak, yang membuatnya bingung, diam-diam, dia menyukai pelukan seperti ini.

“aku kangen kamu kecil, kenapa kamu pergi?”
“a...a..aku”
“Aku hancur, aku hancur kamu tinggal pergi kaya dulu kecil...”
Mendegar kalimat terakhir dari si pemuda, rasa bersalah yang sejak dulu si perempuan coba sembunyikan semua menguak kepermukaan, rasa bersalah yang dia sangat hindari sampai sekarang semua muncul kepermukaan, dan ditengah gelombang rasa bersalah itu, si perempuan meneteskan air matanya.
Merasakan bahwa si perempuan menangis, si pemuda melepaskan pelukanya, dia menatap wajah si perempuan, tatapan mereka bertemu, dan tangan si pemuda tanpa sadar langsung menyeka tetesan air mata itu. Si perempuan langsung memalingkan mukanya ke arah kedua temanya, refleks, si pemuda pun ikut memandangi kedua temanya, dan sebuah kalimat pun meluncur tanpa si pemuda sadari dari mulutnya.

“kamu tau kecil, that could be us
Setelah mengucapkan itu, si pemuda kembali memandangi wajah perempuan itu, dia merasa begitu nyaman ketika memandanginya, dan ketika si perempuan sadar bahwa dia sedang dipandangi, dia kembali menolehkan pandanganya.

    Drrrt
                Drrrrt
                Drrrrtt
Getaran yang terus menerus membuat si pemuda terbangun, dia membuka matanya dan melihat langit-langit kamar kostnya, pikiranya merasa bingung, kejadian yang tadi sedang dia lakukan tampak tidak masuk akal pikiranya, seingatnya dia sedang berada di sebuah bukit, namun sekarang dia sedang berbaring di atas kasur lapuk di kamar kostnya.
Pikirnya masih bingung, sesuatu yang sering terjadi jika dia terbangun seperti itu, getaran yang membangunkanya belum juga berhenti, dan dia mulai meraba-raba sekeliling kasur mencari sumber getaran tersebut. Ternyata itu adalah Handphone-nya, ada sekitar 20 pesan baru, namun dia memilih untuk menghiraukanya, dia kembali memandangi langit kamar kostnya, kali ini pikiranya tertuju pada kejadia di bukit itu, dan langsung setlah dia mulai memikirkanya lagi kenyataan pahit menyambarnya, dia sedang bermimpi.
Mimpi tersebut terasa begitu nyata, harum parfumnya si perempuan, hembusan angin, dekapan si perempuan, semua terasa begitu nyata. Kekecewaan merangkak naik, entah apa yang dia kecewakan saat itu, entah kecewa karena semua kejadia itu hanya mimpi, atau fakta bahwa dia sudah tak sedekat itu lagi dengan si perempuan, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Di tengah kabut kekecewaan itu dia memilih untuk tidak memikirkanya saat itu, dia menyimpanya untk dilakukan malam nanti. Bersama dengan sahabat terbaiknya dalam waktu malam, bunyi jangkirk dan keheningan malam.

Komentar